Just
Dreams
Dengan
mata yang terpaku menatap ke depan, kaki yang siap untuk mengontrol arah maju
dan berhenti, serta badan yang terlihat berisi tak seperti daging, mungkin
lebih tepatnya terlalu banyak lemak. Menghampiri dan membawaku saat ku panggil
dan ku suruh untuk mengantarkanku ke suatu tempat. Tempat yang banyak orang
bisa melihatku, memanggilku serta mengagumiku. bahkan sebaliknya mencaci dan
menghinaku tanpa rasa hormat. Namun kurasa itu tidak begitu penting. Semua
orang sibuk dengan langkahnya masing-masing. Melaju dengan tujuan mereka sendiri.
***
Malam
itu, kau terlihat polos. Nyaris seperti bayi yang baru datang ke dunia ini.
Suci tanpa dosa. Sedikit tenang namun penuh dengan tanda tanya. Ku lihat Kau
sedang duduk bersila paggung sambil memindah-mindahkan channel stasion televisi.
Sekilas kulihat seperti ada hal yang lebih berbeda terdapat dari dalam dirimu. Dengan
seksama ku perhatikanmu. Mulai dari posisi dudukmu. Caramu menggunakan mata
untuk melihat sesuatu, termasuk menonton acara sepak bola di televisi itu.
Serta caramu mimindah-mindahkan channel dengan
remot televisi yang kau genggam di tangan kananmu.
Malam
pun semakin larut, kelihatannya kau akan mengakhiri duduk sila panggungmu
dengan berdiri pergi meninggalkan acara sepak bola di televisi itu. kau ambil
sandal japitmu di atas tanah tepat batas pintu masuk rumah. kemudian kau
langkahkan kakimu mendekat motor untuk mengendarainya dan pergi dari rumah itu.
Dari jauh aku mengikutimu dengan jalan kaki. Sayang, motormu terlalu kencang dalam
melaju hingga jejak roda motormu pun tak membekas sedikitpun di jalanan. Lenyap
begitu saja.
Ku
terus berjalan di atas trotoar di sepanjang jalan dengan harapan bisa menemukanmu
kembali di jalanan sekitar situ. Ku lihat ke kanan dan ke kiri serta ku tengok
ke belakang. Tak kunjung juga ku temukan dirimu. Akhirnya ku putuskan untuk
kembali ke rumah dimana kau duduk bersila panggung sambil menonton acara sepak
bola di televisi itu. Barangkali kau sudah pulang kembali ke rumah itu. Namun lagi
tak kutemukan kau berada di rumah itu. Hingga beberapa jam ku tunggui. Tak juga
kau kembali.
Malam
berikutnya, kulihat kau memakai baju koko putih dan sarung bergaris vertikal
berwarna banyak hitam sedikit putih serta lengkap dengan peci hitam yang baru
saja turun dari masjid. Berjalan ke arah selatan. Tak seperti akan pulang ke
rumah tempat kau duduk bersila panggung. Akupun semakin penasaran kemana tempat
yang akan menjadi tempat tujuanmu.
Ku
arahkan kepalaku untuk menatap langit yang tak menampakkan bintangnya. Tertutup
oleh awan dan warna menjadi gelap. Seperti hendak menjatuhkan tetesan air ke
bumi. Sepertinya juga tak mengijinkan aku untuk mengikuti langkah tempat yang
akan kau tuju. Dari kejauhan ku lihat kau terus berjalan ke arah selatan.
Semakin menjauh tanpa tersisa bayangmu.
Lalu
Ku putuskan kembali pulang ke rumah saat langit menjatuhkan airnya ke bumi
smakin serentak dengan diiringi angin yang beberapa kali sempat menghantam daun-daun
pohon ringin yang sudah siap untuk melepaskan daun yang tadinya menempel
dengannya. Hingga akhirnya sampai di rumah, ku rebahkan badanku dan ku
sandarkan kepalaku di atas empuknya boneka pandaku.
***
Aku
berlari sekuat tenaga menuju gua yang ada di tengah hutan dari kejaran ular
cobra yang terus mengejarku. Tak seorangpun mendengar teriakan permintaan
pertolonganku di hutan itu. Entah karena memang suara teriakanku kurang begitu
keras atau bahkan memang benar-benar tak seorangpun berada di hutan itu.
Di
sisi sudut kanan dalam gua. Ku temukan bekas bakaran ketela yang baru saja
menjadi abu. Seperti telah ada orang yang tinggal di gua itu. “ hallo......apa
ada orang yang menghuni di tempat ini ?” kataku dengan berteriak. Tiba-tiba
muncul bayangan yang sepertinya sudah tak asing lagi bagiku. Bayangan yang
mungkin sering ku lihat dan ku perhatikan. Ya kau. Kaulah sang pemilik bayangan
itu.
“siapa
kau ini, kenapa ada disini?”. Jawabmu dengan sedikit kaget karena adanya aku di
gua itu.
“aku
Uru. Aku sedang di kejar-kejar oleh ular cobra di luar sana. Ku kira ini adalah
tempat yang aman untuk bisa bersembunyi dari kejaran ular cobra itu. Namun jika
kau pemilik gua ini dan tak berkehendak aku berada disini maka aku akan segera keluar
dari gua ini.”ucapku lagi.
Lama
ku menunggu kau bicara untuk mengijinkanku bersembunyi dalam gua itu. Namun tak
juga kau ucapkan sepatah dua patah kata lagi.
Kau malah membalikkan badan dan membiarkanku terus merasa ketakutan
kalau-kalau ular cobra itu datang menghampiri dan mematokku.
“mungkin
kau tak mengijinkanku berada di gua ini”. Gumamku dalam hati sembari aku
melangkahkan kaki untuk keluar dari gua itu. Lima langkah setelah keluar dari
gua, ku temukan dua ular cobra yang
terlihat seperti sedang berdiskusi untuk mengejar dan mematokku. Dan itu memang
benar. Dua ular cobra itu benar-benar mematokku hingga aku lemas tak berdaya. Penglihatanku
juga semakin buram. Rasanya racun cobra sudah merajahi tubuhku.
Saat
mataku terbuka. Terlihat sesosok di atas mataku. Tak begitu jelas pada awalnya,
namun lama kelamaan smakin jelas sosok
itu. tak asing lagi bagiku. Iya kau. Lagi-lagi kau yang berada di atas
penglihatan mataku saat terbuka.
“apa
kau yang menolongku dari dua ular cobra itu?” kataku.
Kau
berdiri dan melangkah menuju ke arah ke selatan dan meninggalku. Aku tak bisa
mencegahmu untuk tidak meninggalku sendiri di tempat itu. Juga ku pikir kau
pasti tidak akan senang jika aku mengikutimu. Pandanganku tertuju padamu. Sedekit
demi sedikit lenyap bayangmu terlihat oleh penglihatanku yang pergi meninggalku.
***
“ayo
bangun nak, saatnya sholat subuh. Segera menyusul ke masjid ya, ibu berangkat
dulu”. Kata ibu saat membangunkanku di tempat tidur.
Sejenak
ku termenung di atas tempat tidur. Mengingat-ingat kembali mimpi yang baru saja
terjadi. Pyar..... suara piring yang
di jatuhkan kucing memecahkan renunganku. Akupun kemudian mengambil air wudhu
dan segara pergi ke masjid untuk menyusul ibu dan melaksanakan sholat
berjamaah.
Siang
harinya, di tengah jalan ku temukan sepucuk kertas putih bergaris horisontal yang
berisi coretan-coretan tinta hitam di setiap garisnya. Tak begitu bagus coretan
itu untuk di lihat. Bahkan sulit untuk dipahami maksud dari coretan itu sendiri.
Buat pak Tara
Bismilahirohmanirrohim
Assalamualaikum pak tara lagi apa
aku sama yang lain lagi kangen inget nggak aku nangis saat perpisahan pak oh ya
pak sekarang ngajar dimana aku denger diberingin tadi aku kerumah ndak ada.
Oh ya pak aku juga nomer hp pak
ahmadnya setiap ada pertemuan ada perpisahan sekian dulu ya pak tolong di bales
suratku nanti kalau udah titipin aja ya pak.
Terimakasih.
Rizka
“Maaf
mbak Uru itu surat untuk Pak Tara, guru sekolahku yang jatuh waktu di bawa temanku.
Boleh ku ambil kembali?”. Suara Rizka anak kelas empat sekolah dasar itu mengagetkanku
saat selesai ku baca dan ku tutup kembali sepucuk kertas itu.
“oh
iya, tentu saja kau dapat mengambilnya kembali”. Kataku dengan memberikan
sepucuk kertas itu kepada rizka.
“Boleh
aku tau seperti apakah pak tara guru di sekolahmu itu rizka?” ucapku lagi.
“Maaf
mbak Uru, aku terburu-buru mengantarkan surat ini kepada Pak Tara. Lain kali
saja akan ku ceritakan tentang Pak Tara kepada mbak Uru”. Kata Rizka sambil berlari
serasa tak sabar untuk memberikan surat itu kepada Pak Tara.
***
Ku
temukan bapak dan ibuku tengah sibuk membersihkan rumah. Tak seperti biasanya
kedua orang tuaku gotong royong dalam membersihkan rumah seperti kali ini. Saat
ku tanyakan kepada mereka mengenai sebab-sebab mereka gotong royong
mmembersihkan rumah bersama. Mereka hanya tersenyum dan malah menyuruhku untuk
berdandan secantik mungkin untuk malam ini. Aku tak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh kedua orang tuaku. Namun sebagai anak aku hanya ingin
membahagiakan kedua orang tua yang telah berjasa membesarkan serta mendidikku
dengan sabar hingga kini. Selain itu juga aku penasaran dengan sikap kedua
orang tuaku yang menyuruhku untuk berdandan secantik mungkin untuk malam ini,
karena aku penasaran, akupun mengikuti intruksi yang disuruh orang tuaku.
Kupakai
baju terbaikku di lemari kayu tuaku yang nyaris habis kayunya karena telah
menjadi makanan rayap setiap harinya. Ku kenakan pita putih di atas rambutku
dan semprotkan parfum beberapa kali ke badanku. Merasa sudah agak terlihat
cantik, Ku beranikan keluar dari kamar dan menghampiri bapak dan ibuku di kursi
tamu. Disitu kulihat seorang lelaki muda yang lumayan memiliki hidung yang
lebih panjang dari hidungku. Kira-kira memiliki panjang 4 cm an. Mata yang
hampir seperti bulan sabit dan dalam, lebih dalam dari tulang yang tertupi oleh
alis hitam. Serta bibir yang tipis dan berbentuk lancip tepat di
tengah-tengahnya bagian atas.
“ini
Uru bu?” katamu sambil kau gunakan matamu yang hampir seperti bulan sabit itu serta
melebarkan bibir tipismu 2 cm ke kanan dan 2 cm ke kiri. Aku mengangguk simbol
ucapannya benar. Kemudian bapak dan ibuku menyuruhku duduk di tengah-tengah
mereka. Memperkenalkanku kepada lelaki muda itu yang tak lain adalah Pak Tara.
Guru sekolah dasar yang tadi pagi ku temukan surat untuknya. Iya tak salah lagi
itu kau, kau berarti guru yang dimaksudkan oleh Rizka murid Pak Tara itu.
“kalau
Uru sudah siap, besok bisa kita laksanakan pernikahannya kan pak bu?” katamu
lagi. Sedangkan aku merasa sangat terkejut dengan ucapan yang baru saja kau
katakan kepada kedua orang tauku. Kemudian ku minta penjelasan yang detail
mengenai kejadian yang sesungguhnya dan yang telah kau dan orang tuaku
rencanakan untukku.
“Pak
Tara ini beberapa kali bermimpi tentang dirimu nak Uru. Ia juga telah bercerita
tentang mimpinya bertemu kamu di gua ketika di hutan juga. Sudah lama juga Pak
Tara ini memperhatikanmu secara diam-diam. Ia menyukaimu dan ingin menikah
denganmu. Ibumu juga sering mendengar kau nglindur
berteriak-teriak minta tolong kepada orang saat di kejar-kejar ular cobra
persis yang di cerikan Pak Tara ini. Jadi bapak dan ibu kira tak ada salahnya
jika kau menerima Pak Tara karena telah banyak tanda-tanda kalau kalian berjodoh.”
Penjelasan bapak panjang lebar padaku.
Dengan mencuri pandang, kau lirik aku dan
lagi kau biarkan bibir tipismu itu kembali melebar 2 cm ke kanan dan 3 cm ke
kiri. Tak kuasa aku melihatnya. Ku tundukkan kepalaku. Ku pandangi tanah yang
ada di bawah. Mungkin itu lebih baik daripada melihatmu.
“kita
akan merayakan acara pernikahan besok di rumahku yang ada di selatan desa sana,
aku sudah sudah mempersiapkan semuanya”.
***
Seetttt.......semua
badanku maju kedepan yang juga mendorong badanmu untuk maju kedepan. Kau marah
mengeluarkan kata-kata kotor dengan emosimu kepada seorang pengemudi motor
tepat di depanmu yang saat itu sedang mengerem dengan mendadak. Hingga
membuatmu juga terpaksa menginjak rem depan belakang di motor yang kau kendarai
bersamaku. Aku pun merasa kaget saat helm yang kupakai mengeluarkan bunyi tukkk karena bertabrakan dengan helm
yang kau pakai. Kemudian kau tengok aku kebelakang dan berkata: “Sudah sampai
mbak. Ongkosnya dua puluh ribu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar