Rabu, 11 Desember 2013

CERPEN


Just Dreams
Dengan mata yang terpaku menatap ke depan, kaki yang siap untuk mengontrol arah maju dan berhenti, serta badan yang terlihat berisi tak seperti daging, mungkin lebih tepatnya terlalu banyak lemak. Menghampiri dan membawaku saat ku panggil dan ku suruh untuk mengantarkanku ke suatu tempat. Tempat yang banyak orang bisa melihatku, memanggilku serta mengagumiku. bahkan sebaliknya mencaci dan menghinaku tanpa rasa hormat. Namun kurasa itu tidak begitu penting. Semua orang sibuk dengan langkahnya masing-masing.  Melaju dengan tujuan mereka sendiri.
***
Malam itu, kau terlihat polos. Nyaris seperti bayi yang baru datang ke dunia ini. Suci tanpa dosa. Sedikit tenang namun penuh dengan tanda tanya. Ku lihat Kau sedang duduk bersila paggung sambil memindah-mindahkan channel stasion televisi. Sekilas kulihat seperti ada hal yang lebih berbeda terdapat dari dalam dirimu. Dengan seksama ku perhatikanmu. Mulai dari posisi dudukmu. Caramu menggunakan mata untuk melihat sesuatu, termasuk menonton acara sepak bola di televisi itu. Serta caramu mimindah-mindahkan channel dengan remot televisi yang kau genggam di tangan kananmu.
Malam pun semakin larut, kelihatannya kau akan mengakhiri duduk sila panggungmu dengan berdiri pergi meninggalkan acara sepak bola di televisi itu. kau ambil sandal japitmu di atas tanah tepat batas pintu masuk rumah. kemudian kau langkahkan kakimu mendekat motor untuk mengendarainya dan pergi dari rumah itu. Dari jauh aku mengikutimu dengan jalan kaki. Sayang, motormu terlalu kencang dalam melaju hingga jejak roda motormu pun tak membekas sedikitpun di jalanan. Lenyap begitu saja.
Ku terus berjalan di atas trotoar di sepanjang jalan dengan harapan bisa menemukanmu kembali di jalanan sekitar situ. Ku lihat ke kanan dan ke kiri serta ku tengok ke belakang. Tak kunjung juga ku temukan dirimu. Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke rumah dimana kau duduk bersila panggung sambil menonton acara sepak bola di televisi itu. Barangkali kau sudah pulang kembali ke rumah itu. Namun lagi tak kutemukan kau berada di rumah itu. Hingga beberapa jam ku tunggui. Tak juga kau kembali.
Malam berikutnya, kulihat kau memakai baju koko putih dan sarung bergaris vertikal berwarna banyak hitam sedikit putih serta lengkap dengan peci hitam yang baru saja turun dari masjid. Berjalan ke arah selatan. Tak seperti akan pulang ke rumah tempat kau duduk bersila panggung. Akupun semakin penasaran kemana tempat yang akan menjadi tempat tujuanmu. 
Ku arahkan kepalaku untuk menatap langit yang tak menampakkan bintangnya. Tertutup oleh awan dan warna menjadi gelap. Seperti hendak menjatuhkan tetesan air ke bumi. Sepertinya juga tak mengijinkan aku untuk mengikuti langkah tempat yang akan kau tuju. Dari kejauhan ku lihat kau terus berjalan ke arah selatan. Semakin menjauh tanpa tersisa bayangmu.
Lalu Ku putuskan kembali pulang ke rumah saat langit menjatuhkan airnya ke bumi smakin serentak dengan diiringi angin yang beberapa kali sempat menghantam daun-daun pohon ringin yang sudah siap untuk melepaskan daun yang tadinya menempel dengannya. Hingga akhirnya sampai di rumah, ku rebahkan badanku dan ku sandarkan kepalaku di atas empuknya boneka pandaku.
***
Aku berlari sekuat tenaga menuju gua yang ada di tengah hutan dari kejaran ular cobra yang terus mengejarku. Tak seorangpun mendengar teriakan permintaan pertolonganku di hutan itu. Entah karena memang suara teriakanku kurang begitu keras atau bahkan memang benar-benar tak seorangpun berada di hutan itu.
Di sisi sudut kanan dalam gua. Ku temukan bekas bakaran ketela yang baru saja menjadi abu. Seperti telah ada orang yang tinggal di gua itu. “ hallo......apa ada orang yang menghuni di tempat ini ?” kataku dengan berteriak. Tiba-tiba muncul bayangan yang sepertinya sudah tak asing lagi bagiku. Bayangan yang mungkin sering ku lihat dan ku perhatikan. Ya kau. Kaulah sang pemilik bayangan itu.
“siapa kau ini, kenapa ada disini?”. Jawabmu dengan sedikit kaget karena adanya aku di gua itu.
“aku Uru. Aku sedang di kejar-kejar oleh ular cobra di luar sana. Ku kira ini adalah tempat yang aman untuk bisa bersembunyi dari kejaran ular cobra itu. Namun jika kau pemilik gua ini dan tak berkehendak aku berada disini maka aku akan segera keluar dari gua ini.”ucapku lagi.
Lama ku menunggu kau bicara untuk mengijinkanku bersembunyi dalam gua itu. Namun tak juga kau ucapkan sepatah dua patah kata lagi.  Kau malah membalikkan badan dan membiarkanku terus merasa ketakutan kalau-kalau ular cobra itu datang menghampiri dan mematokku.
“mungkin kau tak mengijinkanku berada di gua ini”. Gumamku dalam hati sembari aku melangkahkan kaki untuk keluar dari gua itu. Lima langkah setelah keluar dari gua,  ku temukan dua ular cobra yang terlihat seperti sedang berdiskusi untuk mengejar dan mematokku. Dan itu memang benar. Dua ular cobra itu benar-benar mematokku hingga aku lemas tak berdaya. Penglihatanku juga semakin buram. Rasanya racun cobra sudah merajahi tubuhku.
Saat mataku terbuka. Terlihat sesosok di atas mataku. Tak begitu jelas pada awalnya, namun lama  kelamaan smakin jelas sosok itu. tak asing lagi bagiku. Iya kau. Lagi-lagi kau yang berada di atas penglihatan mataku saat terbuka.
“apa kau yang menolongku dari dua ular cobra itu?” kataku.
Kau berdiri dan melangkah menuju ke arah ke selatan dan meninggalku. Aku tak bisa mencegahmu untuk tidak meninggalku sendiri di tempat itu. Juga ku pikir kau pasti tidak akan senang jika aku mengikutimu. Pandanganku tertuju padamu. Sedekit demi sedikit lenyap bayangmu terlihat oleh penglihatanku yang pergi meninggalku.
***
“ayo bangun nak, saatnya sholat subuh. Segera menyusul ke masjid ya, ibu berangkat dulu”. Kata ibu saat membangunkanku di tempat tidur.
Sejenak ku termenung di atas tempat tidur. Mengingat-ingat kembali mimpi yang baru saja terjadi. Pyar..... suara piring yang di jatuhkan kucing memecahkan renunganku. Akupun kemudian mengambil air wudhu dan segara pergi ke masjid untuk menyusul ibu dan melaksanakan sholat berjamaah.
Siang harinya, di tengah jalan ku temukan sepucuk kertas putih bergaris horisontal yang berisi coretan-coretan tinta hitam di setiap garisnya. Tak begitu bagus coretan itu untuk di lihat. Bahkan sulit untuk dipahami maksud dari coretan itu sendiri.
Buat pak Tara
Bismilahirohmanirrohim
Assalamualaikum pak tara lagi apa aku sama yang lain lagi kangen inget nggak aku nangis saat perpisahan pak oh ya pak sekarang ngajar dimana aku denger diberingin tadi aku kerumah ndak ada.
Oh ya pak aku juga nomer hp pak ahmadnya setiap ada pertemuan ada perpisahan sekian dulu ya pak tolong di bales suratku nanti kalau udah titipin aja ya pak.
Terimakasih.
 Rizka
“Maaf mbak Uru itu surat untuk Pak Tara, guru sekolahku yang jatuh waktu di bawa temanku. Boleh ku ambil kembali?”. Suara Rizka anak kelas empat sekolah dasar itu mengagetkanku saat selesai ku baca dan ku tutup kembali sepucuk kertas itu.
“oh iya, tentu saja kau dapat mengambilnya kembali”. Kataku dengan memberikan sepucuk kertas itu kepada rizka.
“Boleh aku tau seperti apakah pak tara guru di sekolahmu itu rizka?” ucapku lagi.
“Maaf mbak Uru, aku terburu-buru mengantarkan surat ini kepada Pak Tara. Lain kali saja akan ku ceritakan tentang Pak Tara kepada mbak Uru”. Kata Rizka sambil berlari serasa tak sabar untuk memberikan surat itu kepada Pak Tara.
***
Ku temukan bapak dan ibuku tengah sibuk membersihkan rumah. Tak seperti biasanya kedua orang tuaku gotong royong dalam membersihkan rumah seperti kali ini. Saat ku tanyakan kepada mereka mengenai sebab-sebab mereka gotong royong mmembersihkan rumah bersama. Mereka hanya tersenyum dan malah menyuruhku untuk berdandan secantik mungkin untuk malam ini. Aku tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kedua orang tuaku. Namun sebagai anak aku hanya ingin membahagiakan kedua orang tua yang telah berjasa membesarkan serta mendidikku dengan sabar hingga kini. Selain itu juga aku penasaran dengan sikap kedua orang tuaku yang menyuruhku untuk berdandan secantik mungkin untuk malam ini, karena aku penasaran, akupun mengikuti intruksi yang disuruh orang tuaku.
Kupakai baju terbaikku di lemari kayu tuaku yang nyaris habis kayunya karena telah menjadi makanan rayap setiap harinya. Ku kenakan pita putih di atas rambutku dan semprotkan parfum beberapa kali ke badanku. Merasa sudah agak terlihat cantik, Ku beranikan keluar dari kamar dan menghampiri bapak dan ibuku di kursi tamu. Disitu kulihat seorang lelaki muda yang lumayan memiliki hidung yang lebih panjang dari hidungku. Kira-kira memiliki panjang 4 cm an. Mata yang hampir seperti bulan sabit dan dalam, lebih dalam dari tulang yang tertupi oleh alis hitam. Serta bibir yang tipis dan berbentuk lancip tepat di tengah-tengahnya bagian atas.
“ini Uru bu?” katamu sambil kau gunakan matamu yang hampir seperti bulan sabit itu serta melebarkan bibir tipismu 2 cm ke kanan dan 2 cm ke kiri. Aku mengangguk simbol ucapannya benar. Kemudian bapak dan ibuku menyuruhku duduk di tengah-tengah mereka. Memperkenalkanku kepada lelaki muda itu yang tak lain adalah Pak Tara. Guru sekolah dasar yang tadi pagi ku temukan surat untuknya. Iya tak salah lagi itu kau, kau berarti guru yang dimaksudkan oleh Rizka murid Pak Tara itu.
“kalau Uru sudah siap, besok bisa kita laksanakan pernikahannya kan pak bu?” katamu lagi. Sedangkan aku merasa sangat terkejut dengan ucapan yang baru saja kau katakan kepada kedua orang tauku. Kemudian ku minta penjelasan yang detail mengenai kejadian yang sesungguhnya dan yang telah kau dan orang tuaku rencanakan untukku.
“Pak Tara ini beberapa kali bermimpi tentang dirimu nak Uru. Ia juga telah bercerita tentang mimpinya bertemu kamu di gua ketika di hutan juga. Sudah lama juga Pak Tara ini memperhatikanmu secara diam-diam. Ia menyukaimu dan ingin menikah denganmu. Ibumu juga sering mendengar kau nglindur berteriak-teriak minta tolong kepada orang saat di kejar-kejar ular cobra persis yang di cerikan Pak Tara ini. Jadi bapak dan ibu kira tak ada salahnya jika kau menerima Pak Tara karena telah banyak tanda-tanda kalau kalian berjodoh.” Penjelasan bapak panjang lebar padaku.
   Dengan mencuri pandang, kau lirik aku dan lagi kau biarkan bibir tipismu itu kembali melebar 2 cm ke kanan dan 3 cm ke kiri. Tak kuasa aku melihatnya. Ku tundukkan kepalaku. Ku pandangi tanah yang ada di bawah. Mungkin itu lebih baik daripada melihatmu.
“kita akan merayakan acara pernikahan besok di rumahku yang ada di selatan desa sana, aku sudah sudah mempersiapkan semuanya”.
***
Seetttt.......semua badanku maju kedepan yang juga mendorong badanmu untuk maju kedepan. Kau marah mengeluarkan kata-kata kotor dengan emosimu kepada seorang pengemudi motor tepat di depanmu yang saat itu sedang mengerem dengan mendadak. Hingga membuatmu juga terpaksa menginjak rem depan belakang di motor yang kau kendarai bersamaku. Aku pun merasa kaget saat helm yang kupakai mengeluarkan bunyi tukkk karena bertabrakan dengan helm yang kau pakai. Kemudian kau tengok aku kebelakang dan berkata: “Sudah sampai mbak. Ongkosnya dua puluh ribu”.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar