Jumat, 28 Desember 2012

REVIEW JURNAL KEKERASAN DALAM MEDIA MASSA ; PERSPEKTIF KULTIVASI Nawiroh Vera , S.Sos Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur

I. PENDAHULUAN Televisi merupakan sebuah sistem telling story yang tersentralisasi. Karena mengatasi halangan historis keberaksaraan dan mobilitas, televisi menjadi sumber umum primer sosialisasi dan informasi sehari-hari dari populasi yang heterogen. Namun, berbeda dengan media lain, televisi menyediakan sebuah set pilihan terbatas untuk bermacam interes dan publik yang tidak terbatas. Televisi merupakan salah satu media komunikasi massa mempunyai fungsi yaitu; memberi informasi, mendidik, menghibur, dan mempengaruhi (Onong, 1992). Tetapi menurut pengamatan kami televisi lebih mengutamakan fungsi menghibur daripada fungsi yang lainnya. Pengaruh televisi terhadap khalayak sudah banyak yang mengetahui melalui berbagai penelitian yang dilakukan para ahli. Penelitian tentang pengaruh televisi pada khalayak salah satunya dilakukan oleh Gabner. Awalnya Garbner melakukan penelitian tentang “indikator budaya” pada pertengahan tahun 60-an, untuk mempelajari pengaruh menonton televisi. Dengan kata lain ia ingin mengetahui dunia nyata seperti apa yang dibayangkan, dipersepsikan oleh penonton TV itu? Dapat dikatakan penelitian kultivasi yang dilakukannya lebih menekankan pada dampak/effek. Analisis kultivasi adalah satu bagian dari program penelitian yang berkesinambungan, terus menerus yang dilakukan dalam jangka panjang. Menurut prespektif kultivasi, televisi menjadi media utama dimana para penontonnya belajar tentang masyarakat dan kultur dilingkungannya. Dengan kata lain, persepsi apa yang terbangun di benak kita tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Artinya, melalui kontak kita dengan televisi kita belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, dan adat istiadatnya. Prespektif kultivasi pada awal perkembangannya lebih memfokuskan kajian pada studi televisi dan khalayak. Fokus utamanya pada tema-tema kekerasan di televisi. KONSEP KEKERASAN DALAM MEDIA MASSA Tiga konsep penting (yang dimodifikasi dalam pelbagai varian) digunakan dalam penelitian-penelitian media efek, yaitu: 1. Media Violence, atau kekerasan di media. Yang dimaksud adalah isi media yang mengandung unsur kekerasan. Bisa berupa unsur kekerasan yang terdapat dalam film, televisi, berita. dll. Pada level individu, yang diteliti adalah terpaan isi media yang mengandung kekerasan pada individu. 2. Violence didefinisikan Gerbner (1972) sebagai ‘the over expression of physical force against others or self, or the commpelling action against one’s will on pain of being hurt or killed." 3. Aggressive Behavior, didefinisikan Berelson (1973) sebagai "inflicting bodily harm to other and damage to property." BEBERAPA PENELITIAN EFEK MEDIA VIOLENCE Kebangkitan Televisi pada tahun 1950 berdampak pada studi efek media yang kini memusatkan risetnya pada terpaan televisi (90 % rumah tangga di AS menonton televisi). 1. Schramm, Lyle dan Parker (1961) mendiskusikan sejumlah contoh. kekerasan imitatif dan sumber berita yang disiarkan pada 1950. Mereka berargumen bahwa hubungan yang kentara antara terpaan adegan kekerasan di TV dengan imitasi kejahatan dan kekerasan bukanlah faktor kebetulan belaka. 2. Lieber, Sprafkin, dan Davidson (1981) melacak peran Pokja Senat yang dipimpin oleh Senator Estes Kefauver untuk Juvenile Delinquency (mempertanyakan perlu tidaknya adegan kekerasan di televisi). Kendati gagal menetapkan konsensus seputar efekefek kekerasan di televisi, riset ini menyiratkan prioritas untuk mengadakan studi tentang efek terpaan media terhadap perilaku agresif. 3. c. George Gerbner (1972) melakukan studi analisis isi dan menemukan bahwa acara TV yang diputar pada jam-jam utama (prime time) berisi 8 contoh kekerasan setiap jamnya. Diantara penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek terpaan media televisi pada khalayak, adalah efek media violence. Salah satunya yang dilakukan oleh Huesmann & Eron (1986). Mereka meneliti anak-anak yang diterpa siaran televisi sejak usia 8 tahun sampai 30 tahun. Metode yang digunakan yaitu panel suvei, dan ternyata diperoleh hasil bahwa mereka yang menonton acara kekerasan di TV pada level tertinggi saat anak-anak lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika dewasa. METODE - METODE ANALISIS KULTIVASI Analisis kultivasi dimulai dengan analisis sistem pesan untuk mengidentifikasi pola-pola permanen, kontinyu, dan overarching dari konten televisi. Klasifikasi light viewer, medium viewer, dan heavy viewer diukur dengan jumlah waktu responden menonton televisi rata-rata setiap hari. Yang penting adalah adanya perbedaan tingkatan menonton, bukan pada jumlah akurat menonton. 1. PENELITIAN TENTANG EFEK MEDIA (PERSPEKTIFKULTIVASI ) Garbner melakukan penelitian dampak televisi dengan menggunakan metode survey analisis, dimana populasi dan sample adalah penonton pria dan wanita yang dibedakan berdasar usia yaitu; dewasa, remaja, dan anak-anak. Juga diperoleh data bahwa rata-rata orang menonton TV di Amerika Serikat adalah 7 jam sehari. Maka muncul istilah heavy viewers (pecandu berat televisi)dan light viewers atau viewers(penonton biasa) Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya. Dengan kata lain pecandu berat televisi mempunyai kecenderungan sikap yang sama satu dengan lainnya. Efek kultivasi memberikan kesan bahwa televisi mempunyai dampak yang sangat kuat pada diri individu. Mereka beranggapan bahwa lingkungan sekitarnya sama seperti yang tergambar di televisi. 2. KARAKTERISTIK KHALAYAK MEDIA MASSA Stuart Hall, kulturalis media, menyusun kategori khalayak media dalam tiga klasifikasi: dominant reader, oppositional reader, dan negotiated reader. Dominant reader adalah kategori khalayak yang mengikuti arus dominan pemberitaan media --apa pun kata media dikunyah habis-habisan, tanpa kecuali. Oppositional reader, sebaliknya, kategori khalayak yang selalu bertentangan sikap dengan arus dominan media. Media jadi sejenis public enemy yang banyak menghasut masyarakat untuk mengganti nilai-nilai luhur dengan nilainilai "modern" dan "kosmopolitan". Kategori negotiated reader merujuk khalayak media yang moderat. Bila yang ditampilkan media sesuai dengan keyakinannya, mereka akan memanfaatkan media. Namun, ketika bertentangan, media akan ditinggalkan. II. ISI JURNAL Dari beberapa teori dan penelitian tersebut, bisa dibayangkan dampak yang akan terjadi di masyarakat Indonesia jika acara yang ditonton sebagian besar tentang kekerasan, pornografi,dll. Walaupun banyak ahli mengatakan bahwa khalayak selektif terhadap pesan dari media massa (televisi), juga faktor pendidikan, budaya, dan lingkungan tempat tinggal lebih berpengaruh daripada tayangan televisi, tetapi jika kita kaitakan dengan situasi di Indonesia yang sebagian besar penduduknya hidup di daerah terpencil, pendidikan masih rendah, kontrol sosial yang kecil, maka sepertinya dampak negatif yang akan lebih berpengaruh daripada dampak positifnya. Belum lagi menjamurnya tayangan TV berbau porno dan situssitus porno di internet. Semua itu berdampak langsung bagi remaja kita saat ini. Lihat saja anak-anak muda pengguna narkoba meningkat, perkosaan hampir tiap hari meminta korban, remaja-remaja SMP dan SMA yang kebobolan dan kasus-kasus penyimpangan yang lainnya. Semua itu rupanya belum membuat masyarakat sadar bahwa kebebasan pers yang dibuka pemerintah membawa dampak yang sangat luas, yaitu runtuhnya nilai-nilai moral dan agama dikalangan masyarakat Indonesia yang terlena oleh kebebasan, termasuk kebebasan berperilaku yang mengabaikan rasa malu. Pers bebas rupanya telah disalahartikan, bahkan oleh insan pers itu sendiri. Pers bebas berarti boleh menampilkan foto-foto wanita atau pria berbusana minim, nyaris bugil, memuat cerita-cerita yang membangkitkan nafsu birahi dan gambar atau film yang mempertontonkan hubungan sex secara vulgar. Bila kita lihat perkembangan media yang secara besar-besaran menampilkan hal- hal yang berbau kekerasan dan pornografi akhirakhir ini tentu akan lebih jelas bila kita tinjau dari beberapa aspek yang melatarbelakangi masalah tersebut, yaitu: 1. Aspek Ekonomi. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat, menjadikan industri media semakin menuju ke arah money oriented, karena biaya produksi yang makin tinggi. Seperti dikatakan Murdock dan Golding (1991) dalam “for Political Economy of Mass Communications” bahwa “ tumbuhnya media ke skala industri-pengenalan teknologi baru dan produksi massa, menjadikan tingginya tingkat kebutuhan dukungan financial yang lebih besar”. Karena jika perusahaan media tersebut ingin tetap exis maka keuntungan materi harus tetap diperjuangkan. Dallas Smithe dalam tulisannya mengatakan bahwa “media sebagai produser tidak hanya ditempatkan pada komoditas hiburan, tetapi audien itupun juga dapat ditempatkan pada posisi yang sama”. Audien sebagai komoditas dijual ke pengiklan. Audien menghasilkan nilai surplus bagi pengiklan dengan menggunakan waktu yang audien miliki untuk mengkonsumsi iklan dan dalam konsumsi itu dipakai untuk menawarkan dan menjual komoditas lainnya (Boyd-Barrett, 1995). Terpakunya para pengiklan pada rating acara, menjadikan perusahaan media menampilkan acara yang disukai khalayak (yang berating tinggi), walaupun kriteria rating itu sendiri masih perlu dipertanyakan. Karena berdasarkan rating acara mistik, porno, dan kekerasan menempati posisi yang tinggi maka merekapun berlomba menyuguhkan acara-acara tersebut. Kita semua tahu bahwa sesuatu yang tergolong pornografi, mistik, dan kekerasan mempunyai nilai jual tinggi. Semua kalangan baik pengusaha, mahasiswa, sopir bis, abang becak, ibu rumah tangga mengkonsumsi media tersebut. Lihat saja mulai dari Telenovela Latin, Sinetron yang menjual mimpi, berita kriminal yang dikemas mirip film biru (adegan rekonstruksi yang sangat vulgar), Acara mistik yang menjurus ke perbuatan syirik, sinetron mistis yang berkedok keagamaan, musik lokal dan luar negeri yang video klipnya vulgar dan tak senonoh, dan masih banyak acara sejenis yang terlalu banyak untuk disebutkan, semua laku keras dipasaran. Pokoknya bisnis tersebut terutama pornografi merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan, film porno, gambar porno, foto porno, kartun porno, humor porno, dan semua yang berbau porno merajalela sebagai komoditas ekonomi. 2. Kebebasan pers Kebebasan Pers yang baru diberlakukan oleh pemerintah setelah sekian lama dibelenggu oleh rezim orde baru, tapi sayangnya kebebasan tersebut tidak digunakan untuk hal-hal yang positif ( sebagai kontrol pada pemerintah dan penguasa, penegakan demokrasi, penegakan hukum dan keadilan), tetapi digunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggungjawab. III. KERANGKA TEORITIK Pihak media massa sering memberikan argumentasi bahwa prespektif kultivasi dan dampak media violence dari tayangan televisi terlalu dibesar-besarkan. Perilaku kita boleh jadi tidak hanya dipengaruhi oleh televisi, mungkin dipengaruhi oleh media lain, pengalaman langsung, dll. Beberapa ahli yang memberi kritik terhadap Gerbner antara lain : 1. Doob dan McDonald Mereka mengatakan bahwa di dalam mempelajari thema kekerasan, kontrol lingkungan lebih cocok dibanding kontrol pendapatan seperti yang pernah dikemukakan oleh gerbner. 2. Hirst Mengatakan bahwa sebuah hubungan nyata antara terpaan kekerasan televisi dan takut akan kejahatan dapat dijelaskan dengan lingkungan dimana penonton tinggal (Livingstone, 1990). Mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminilitasnya tinggi lebih percaya bahwa kemungkinan untuk diserang atau diganggu daripada mereka yang tinggal di lingkungan yang tingkat kriminilitasnya rendah. 3. Pingree dan Hawekins Mereka mengatakan bahwamembahas jenis isi lebih berguna dari pada mengukur jumlah penonton, sebab penonton itu selektif terhadap pesan yang diterimanya. Frederick Wiliams (1989), Mengomentari penelitian yang ada sebagai berikut: “Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali mempunyai sikap stereotipe tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka ibu rumah tangga mungkin digambarkan sebagai orang yang paling concern terhadap urusan bersih-sersih rumah. Suami adalah orang yang selalu menjadi korban dalam kisah lucu. Perwira polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Semua bandit berwajah seram”. Beberapa kritikus juga mengatakan bahwa penonton sebenarnya juga aktif di dalam usaha menekan kekuatan pengaruh televisi seperti yang tidak diasumsikan teori kultivasi. Teori kultivasi menganggap bahwa penonton itu pasif. Teori kultivasi lebih memfokuskan pada kuantitas menonton televisi atau “terpaan” dan tidak menyediakan perbedaan yang mungkin muncul ketika penonton menginterpretasikan siaran-siaran televisi. Penonton mempunyai motivasi dan interpretasi yang berbeda satu sama lain. 4. Josep Dominick Mengatakan bahwa ”Individu yang menonton televisi tanpa motivasi dan perencanaan sebelumnya lebih mudah untuk melupakan apa yang dilihatnya dari pada mereka yang menonton televisi dengan motivasi dan perencanaan sebelumnya (Dominic, 1990). Perlu juga dilihat lingkungan/ daerah penonton yang terkena dampak kultivasi. Karena penelitian yang dilakukan Gerbner dan kawan-kawan dilakukan di Amerika Serikat. Hanya sedikit bukti bahwa efek kultivasi itu terjadi di luar AS. Weber ( yang di kutip Condry, 1989) misalnya tidak menemukan bukti di Inggris bahwa ada hubungan antara kecanduan televisi dengan perasaan tidak aman. Itulah kenapa televisi di Inggris sedikit menampilkan adegan kekerasan dibanding televisi AS. Condry kemudian menyarankan seharusnya ada kritik yang dilakukan sebelum adegan televisi disiarkan. Atau bisa jadi karena di Inggris lebih banyak budaya media dibanding AS IV. ANALISIS Kebangkitan Televisi pada tahun 1950 berdampak pada studi efek media yang kini memusatkan risetnya pada terpaan televisi (90 % rumah tangga di AS menonton televisi). a. Schramm, Lyle dan Parker (1961) Mendiskusikan sejumlah contoh. kekerasan imitatif dan sumber berita yang disiarkan pada 1950. Mereka berargumen bahwa hubungan yang kentara antara terpaan adegan kekerasan di TV dengan imitasi kejahatan dan kekerasan bukanlah faktor kebetulan belaka. b. Lieber, Sprafkin, dan Davidson (1981) Melacak peran Pokja Senat yang dipimpin oleh Senator Estes Kefauver untuk Juvenile Delinquency (mempertanyakan perlu tidaknya adegan kekerasan di televisi). Kendati gagal menetapkan konsensus seputar efek-efek kekerasan di televisi, riset ini menyiratkan prioritas untuk mengadakan studi tentang efek terpaan media terhadap perilaku agresif. c. George Gerbner (1972) Melakukan studi analisis isi dan menemukan bahwa acara TV yang diputar pada jam-jam utama (prime time) berisi 8 contoh kekerasan setiap jamnya. Diantara penelitian yang dilakukan untuk mengetahui efek terpaan media televisi pada khalayak, adalah efek media violence. Salah satunya yang dilakukan oleh Huesmann & Eron (1986). Mereka meneliti anak-anak yang diterpa siaran televisi sejak usia 8 tahun sampai 30 tahun. Metode yang digunakan yaitu panel suvei, dan ternyata diperoleh hasil bahwa mereka yang menonton acara kekerasan di TV pada level tertinggi saat anak-anak lebih cenderung terlibat kejahatan serius ketika dewasa. Zillman (1991) mengemukakan teori exitation transfer yang memperkenalkan properti arousal inducing pada media violence untuk memahami intensitas reaksi emosional setelah menonton. Hasilnya, seorang penonton bangkit rasa marahnya setelah diterpa media violence. Arousal atau bangkitnya rasa marah ini dapat ditransfer pada kemarahan yang sesungguhnya, bahkan mengintensifkan hingga menambah kecenderungan berperilaku agresif. V. PENUTUP Terlepas dari pro-kontra masalah dampak media massa terhadap penonton, dalam kasus di Indonesia kita seyogyanya lebih bijaksana dalam menyikapi. Memang diperlukan penelitian lebih banyak dalam konteks Indonesia, mengingat penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan lebih banyak di Amerika Serikat dan Eropa. Bukannya kita terlampau menyederhanakan atau menafikkan faktor-faktor lain yang tidak kalah potensial dalam memicu perilaku agresif. Misalnya faktor depresi dan pengalaman traumatik. Tapi, kalaupun peniruan modus operandi kriminalitas dianggap berlebihan, toh efek kriminalitas di televisi tetap saja perlu diwaspadai ketika muncul dalam bentuk desensitisasi kekerasan.